Sembah sujud penulis sampaikan hanya kepada Mu Sang Penguasa jagat. Semoga sejahtera diseluruh alam raya. Semoga semua berbuat kebajikan. Semoga leburlah segala dosa. Semoga berbahagialah diseluruh tempat di bumi ini. Dan semoga tiada halang merintang.
Hati penulis terdorong mengawali dengan kalimat yang hampir sama terucap, ketika Citralekha I Hino Laksana menuliskan pikukuh di Dusun Ngandat Kota Batu, tepat di tapal batas Desa Sangguran. Tulisan yang diukir pada sebuah batu itu, membuat pencarian penulis tentang jati-diri Kota Batu makin menggelora.
Meski sesungguhnya penulis bukan sejarawan, yang sesungguhnya pula bukan kewajiban penulis untuk bersusah-susah dan berpayah-payah, menelusuri, kemudian menelaah berbagai sumber yang mengarah pada pencarian itu.
Termotivasi rasa gandrung terhadap Kota Batu, susah dan payah menjadi bumbu sedap pelengkap sajian karya tulis MINTO STONE, . Kupersembahkan khusus kepada Masyarakat Batu tercinta, dan umumnya Bangsa Indonesia.
Perjalanan Kota Wisata Batu memasuki tahun kesepuluh. Tentunya tidak ujug-ujug menjadi kota otonom. Ada serentetan peristiwa panjang yang mendahului wilayah yang di kelilingi Pegunungan Kawi dan Pegunungan Arjuno ini. Buktinya jelas. Sejumlah situs dan artefak ditemukan di wilayah yang kemudian disebut sebagai Batu ini. Beberapa naskah kuna, seperti Negara Kertagama-nya Prapanca (1365 M), Pararaton (Abad XV), History of Java-nya Raffles (1811-1816) juga sudah menyinggung soal wilayah Batu.
Sepuluh tahun, bukan waktu yang banyak untuk sebuah pencarian. Memang, tak tanggung-tanggung yang dicari adalah jatidiri. Ya, jatidiri kota tercinta, Kota Batu yang genap sepuluh tahun.
Sejumlah masyarakat Batu, kerap memperbincangkan akan jatidiri kotanya. Kerap juga saya menjadi tumpuan pertanyaan besar itu. Meminjam judul film yang dibintangi Jacky chan “Who am I ” Siapa saya, makin kuat dorongan untuk segera menemukannya.
Perjalanan panjang pencarian itu, menghantarkan saya menuju penemuan-penemuan besar lain, terkait wilayah Batu. Kadang membelalakkan mata. Tak jarang membuat gundah gulana. Makan tak enak, tidur nggak nyenyak. Bikin hati resah gelisah. Siapa susungguhnya Wong mBatu ?
Gagasan besar banyak ditetaskan di wilayah Hinapit (yang diduga menjadi sebutan Batu menurut Prasasti Candi Belahan, 905 Masehi). Tak hanya itu Raja ke – 12 Mataram Kuno—Pu Sendok dengan gelar Sri Maharaja Rakae Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa—sekitar tahun 928 Masehi, memindahkan pusat Kerajaan Mataram Kuno ke Lembah Hulu Sungai Brantas. Hingga sekarang, para ahli sejarah belum dapat memastikan secara tepat lokasi Kerajaan Pu Sendok di Jawa Timur. Bisa jadi, kerajaan besar tersebut tetirah (pindah untuk membuang sial) di sekitar Kota Batu sekarang. Bukankah saat revolosi Soekarno pernah memindahkan pusat pemerintahan Jakarta ke Jogjakarta ?. Saat tetirah di Desa Tulungrejo, Kota Batu, tepatnya di Wisma Bima Sakti.. Meski sebentar, tetirah diyakini harus dilakukan.
Sejumlah Prasasti membuktikan, wilayah hinapit berstatus sima (bebas setoran pajak ke kerajaan pusat). Mungkin semacam otonomi daerah sekarang. Sebut prasasti Sangguran (928 Masehi). Ditemukan di dusun Ngandat, sekitar Desa Mojorejo, Kecematan Junrejo, Kota Batu sekarang. Atau prasasti Marinci, yang di temukan di Desa Perinci, dulu masuk wilaIayah Kecamatan Batu. intinya sama. Pelimpahan sebagian kewenangan oleh pemerintah pusat ke pemerintah yang dinyatakan sebagai sima pumpunan. Gus Dur – Presiden Abdurrahman Wachid—pada 17 Oktober 2001, menganugrahkan otonomi ke-2 bagi wilayah Batu.
Penulis maklumi, dalam penulisan Sejarah Indonesia, porsi wilayah lembah hulu Sungai Brantas ini menempati bagian kecil Sejarah Nusantara. Mungkin, sejarawan atau para linuwih belum sempat menyediakan diri membahas wilayah sekecil Batu. Padahal, temuan penulis dari kajian berbagai sumber menunjukkan, meskipun kecil, Wilayah Batu memiliki kedudukan penting dari masa ke masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar